expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Wednesday, July 30, 2008

Cerpen Buah Hati

Buah Hati
Oleh : Rida Fitria
Pukul lima pagi bayiku merengek, melempar-lemparkan pantat dengan mata setengah terpejam- mencari sumber kehidupannya. Di usianya yang ke dua puluh satu bulan ia belum disapih, seperti kakak-kakaknya yang baru lepas ASI di usia 24-25 bulan. Kami berusaha mengikuti sunnah Rasul, menyapih anak pada usia dua tahun. Terlepas jika kami merasa diuntungkan dengan pemberian ASI penuh, selain tak repot menggodok botol dan menyiapkan air panas di termos, kami pun tak perlu cemas dengan harga susu bayi yang terus melambung. Bayiku kembali tertidur setelah ia puas menyusu.

Hati-hati aku melepaskan diri, melorot dari tempat tidur dan pergi ke kamar mandi. Menggosok gigi, menyabun wajah, buang air kecil, lalu berwudlu’dengan niat dalam hati membersihkan diri dari hadas kecil. Saat keluar dari kamar kecil aku lupa membaca doa setelah wudlu’ dan tak mempermasalahkan kealpaan sebelumnya- doa sebelum wudlu’, bergerak secara mekanis dan sudah berada di tempat shalat untuk menunaikan sembahyang Subuh.
Aku memasukkan diri dalam mukena putih yang berbordir di bagian punggung manakala putera sulungku mengingatkanku dari ruang tidur, “ Buatkan air panas, Bunda.” Suaranya terdengar parau karena batuk dan pilek, aku mengiyakan lalu konsentrasi pada niat shalatku. Mengangkat tangan dan mengucapkan lafadz takbiratul ihram, diikuti doa iftitah, lalu Al Fatihah dan surat pendek dari Al Qur’an. Saat ruku’ aku melupakan gerakan mekanisnya dan berusaha khusyu’ dalam penyerahan diri kepada Allah SWT. Tak terelakkan rasa bangga menyeruak, antara ruku’ dan I’tidal- oleh seorang peneliti kesehatan melalui presentasi ilmiah memaparkan bahawa gerakan shalat ini bisa menjadi obat alternative bagi penderita narkoba yang kerap mengalami sakaw namun ingin sembuh dengan teknik pasang badan. Dalam usiaku, aku memandang shalat sebagai kebutuhan spiritual, yang menjadi obat saat aku sedih, dan wadah kontemplasi manakala sangat bersemangat untuk bersyukur.
Pagi hari kerap menyenangkan untuk melakukan doa panjang usai shalat subuh didirikan. Kecuali bayimu merengek dan minta menyusu. Aku melepas mukena dan kembali ke tempat tidur, menenangkan bayiku dengan memberi apa yang ia inginkan. Sulungku tengah mandi setelah si Bibi menuangkan air panas ke bak mandi bundar warna hitam yang terbuat dari plastic dan telah diisi air dingin. Pagi ini tak kudengar puteraku bersenandung meski ia mandi menggunakan air hangat, barangkali karena kedinginan.
Bayiku kembali tidur, aku turun dari ranjang dan berjalan ke kamar mandi. Kudapati puteraku baru keluar dari kamar mandi dan tampak basah dari kepala hingga mata kaki. Aku menarik handuk dari gantungan di sebelah pintu kamar mandi dan melamparkannya ke tubuh puteraku.
“ Handukin, Bunda.” Pintanya gemetar. Aku melihat bibirnya membiru karena hawa dingin namun tak melakukan apa-apa pada sehelai kain handuk yang menutupi kepalanya. Puteraku hanya bersikap seperti orang ruku’ dan menjalin lengannya hingga mempertemukan kedua tangannya yang lengket di antara selangkangan. Tubuhnya meliuk turun dan hampir terpelintir karena dingin yang hebat. Aku menggosok helai-helai rambutnya yang basah lalu menyesap butiran air di sekujur tubuh puteraku dengan handuk.
“ Jangan beli ciki-ciki, permen, dan es cendol depan sekolah, ingat itu.” Puteraku terbatuk-batuk hingga aku mengira ia akan muntah. Aku menyuruhnya meludah di kamar mandi, ia berjalan mundur dan mendorong pintu, meludah beberapa kali. “ Kalau mau jajan beli saja sate ayam, bakso atau rujak lontong, tempatnya bersih. Kalau pingin es, ice cream aja, wadahnya tertutup dan bahan yang dibuat untuk itu lebih sehat.”
Puteraku mengiyakan, aku sedikit tenang meski tak menjadi lega karena khawatir ia terpengaruh teman-temannya jajan sembarangan, batuk dan pilek adalah indikasinya. Dengan pikiran was-was aku berjalan ke almari yang menyimpan baju-baju puteraku. Menarik seragam sekolah dari gantungan baju dan mencomot pakaian dalam di dasar lemari. Puteraku berdiri di samping lemari, bersikap menunggu untuk dilayani. Sampai duduk di kelas tiga sekolah dasar, ia masih sering memintaku memakaikan pakaian sekolahnya, terutama di pagi hari saat ia kedinginan dan malas bergerak.
Aku melihat jam dinding, pukul enam kurang sepuluh menit, dan menyuruh puteraku menyisir rambut di meja riasku sementara aku menyiapkan sarapan pagi kami yang terdiri dari nasi putih dan semur daging yang dihangatkan sisa kemarin. Bibi sedang ke pasar belanja sayuran dan bumbu pecel olahan yang sudah jadi, untuk lauk kupesan tempe mentah untuk digoreng atau dibacem. Hari ini aku berniat irit, sejak puteraku pindah ke sekolah baru yang lebih dekat dengan rumah, pengeluaran membengkak, untuk uang bangku, seragam baru sekian buah, dasi, kaos kaki, sabuk, topi, yang semuanya lebih mahal dari harga pasar karena satu paket. Tapi tak masalah, selama puteraku bahagia dengan pilihan sekolah barunya. Toh kita cari duit juga untuk mereka.
“ Sudah, Bunda.” Puteraku menolak suapan yang kedua. Aku memotong daging dengan pinggiran sendok, meletakkannya di atas nasi putih, menyendok lalu membawanya ke mulutku.
“ Sereal ya.” Aku telah menelan makananku dan menawari puteraku sarapan alternative. Ia mengangguk. Aku membawa makananku ke dapur dan mengambil sereal di kotak penyimpanan. “ Pakai air hangat atau dingin?”
“ Dingin, aku lebih suka dingin.” Puteraku menjawab sambil menyiapkan tas sekolah. Aku memencet air mineral di guci keramik dengan gallon terbalik, mengisi air di gelas hingga tersisa ruang untuk bubuk sereal di atasnya. Sementara mengaduk sereal dalam air, puteraku mendatangiku.
“ Kalau menggunakan air dingin, sereal susah larut dan lama baru bercampur dengan airnya.” Kataku sedikit menyesali. Puteraku bersikap tenang dan tak terpengaruh, hanya menjawab bahwa hal itu bukan masalah besar baginya. Tentu saja, ia menghabiskan segelas sereal dalam sekali napas. Saat puteraku meletakkan gelas di meja dapur, aku sempat melirik dasar gelas serealnya yang licin tanpa sisa. Namun aku tak sempat memperhatikan sudut bibirnya dan lupa mengingatkan supaya puteraku membersihkan bibirnya dari sisa-sisa sereal karena sibuk dengan piringku sendiri. Menyusui membuatku lapar berlipat-lipat di pagi hari.
Piringku hampir bersih tatkala bayangan puteraku yang rapi dan tampan melintas. Aku berdiri dari kursiku tanpa tergesa dan berjalan ke halaman depan melalui pintu samping, melewati kamar pembantu dan berdiri di pintu depan di samping computer kerja para staf suamiku- saat membawa pulang pekerjaan ke rumah kami. Di sela-sela garasi yang sempit, puteraku bersabar menuntun sepedanya keluar melalui badan mobil yang tampak besar ketimbang batang-batang kecil sepedanya. Karena konsentrasi mengeluarkan sepeda, puteraku melewatkan keberadaanku.
“ Wuih, Bunda gak dipamiti rek.” Piring di tanganku telah bersih dan makanan di mulutku habis kukunyah. Puteraku menoleh dan tenang menjawab, sebentar katanya. Tak sampai semenit ia kembali dan berjalan ke arahku.
“ Bunda ke sekolah kan?”
“ Urusan Bunda dah selesai tuh, kenapa?” puteraku tak menjawab hanya menggumam tak jelas sambil mencium tanganku. “ Mau diantar lagi, anak baru?”
Aku mencium pipi puteraku, pada ciuman kedua – bibirnya menyentuh hangat pipiku, lalu menjalar ke balik dadaku, berpilin-pilin dengan rasa bangga, bahwa sejauh ini kami membesarkan anak kami dengan benar. Paling tidak yang lebih dekat dengan perasaan ketimuran kami, dan bagian terbaik dari adaptasi yang cocok kami terapkan dalam keluarga kami. Faktanya, kami bukan pasangan orang tua konvensional sebagaimana orang tua kami membesarkan kami dan adakalanya kami menjadi tidak bersepakat dalam satu hal namun bersepakat pada hal lainnya.
Puteraku memutar tubuh dan mengucap salam tanpa berteriak – anak tetangga kami biasa melakukannya saat berangkat sekolah – dan aku berdiri di ambang pintu menunggu puteraku di jalan kecil yang membelah perkampungan menuju sekolah. Aku melongok dan turun dari ambang pintu, melihat bayangan puteraku dari celah pagar kotak-kotak kami yang terbuat dari campuran semen yang sangat kokoh dan dicat merah dan mencari tahu alasannya kenapa ia tak segera berangkat, ia tampak mengobrol dengan tetangga sebelah yang menceritakan kesulitan mereka memakaikan dasi di krah gadis kecil mereka yang baru masuk sekolah dasar tahun ini. Puteraku tak keberatan membantu, saat selesai melakukannya ia segera meluncur dengan sepedanya ke arah selatan, ke sekolah.
Aku tengah bersiap-sekedar melihat puteraku senin pagi ini mengikuti upacara bendera di halaman sekolahnya. Di dapur aku berpesan pada Bibi supaya pasang telinga karena sewaktu-waktu bayiku bangun ia harus segera mendatanginya. Di kamar yang lain suamiku masih tampak pulas, selimutnya naik ke atas dada sementara betisnya menjulur keluar. Di sampingnya puteri kedua kami yang berusia lima tahun dan memutuskan home schooling, sama pulasnya dengan bapaknya. Sebelum pergi ke sekolah puteraku, terlebih dahulu aku membenahi selimut keduanya.
“ Untung bukan anakku yang ditampar,” seorangn Ibu murid kelas satu menunjukkan keprihatinan tanpa sikap geram. Aku memperhatikan sulur-sulur pohon beringin di antara daunnya yang rindang. Pembicaraan tentang murid kelas satu yang ditampar guru kelasnya masih berlanjut hingga beberapa hari sesudahnya. Aku tak melihat kejadian itu secara langsung selain mendengar kisah itu dari ibu yang satu ke ibu yang lain.
“ Belum satu minggu sekolah, sudah terjadi kekerasan.” Pertama kali mendengar peristiwa penamparan itu – tubuhku tegak seperti palang pintu kuno ruangan kantor yang bersebelahan dengan kelas satu A. Aku merasa kasihan manakala membayangkan raut wajah ibu si murid yang ditampar, yang merasa terluka namun tak berdaya, barangkali tak tahu jika ada undang-undang hukum pidana yang bisa menyeret guru tersebut ke sel penjara. Tiba-tiba aku mencemaskan puteraku meski setelahnya merasa malu hanya memikirkan kemalangan diri sendiri yang belum terjadi namun mengabaikan kemalangan orang lain yang sudah di depan mata. Aku terpukul, namun bersikap seperti ibu-ibu yang lain, yang menunjukkan sikap prihatin namun tak berlaku kritis.
Beberapa hari lalu, saat mengantar puteraku di hari kedua, ia hampir tak mengikuti pelajaran olah raga karena masih berseragam pramuka. Guru olah raga menolak puteraku masuk dalam barisannya karena ia tak mengenakan pakaian olah raga. Aku tak memperhatikan hal itu karena bingung mencari guru yang bertanggung jawab terhadap segala urusan berkaitan dengan kebutuhan puteraku sebagai murid pindahan. Puteraku menghampiriku dan aku mengabaikan kemurungannya karena seorang guru memintaku datang ke ruangan kepala sekolah bersama wali murid lain yang juga mengurus kepindahan anaknya. Di ruang kepala, kami menunggu beberapa saat sebelum akhirnya seorang lelaki kurus berkaca mata mendatangi kami dan tanpa mengenalkan diri kami tahu jika dia sang kepala sekolah itu.
“ Kami berharap kerja sama dan dukungan wali murid terhadap seluruh kegiatan kami di sekolah. Kami akan berusaha sekuat tenaga memberi pengajaran terbaik. Tahun ini kami akan menjajagi system pendidikan Internasional,” kata kepala sekolah. Saat berbicara lelaki itu menghindari kontak mata, dan lebih sering melihat ke arah wali murid di sebelah kami dari pada ke arahku, sehingga aku mengira telah melakukan sesuatu yang salah namun tak menyadarinya. “ Namun demikian, wali murid tidak boleh menyerahkan pendidikan anaknya 100% di tangan kami. Wali murid juga harus proaktif.”
Aku menjatuhkan pandanganku ke vas bunga di meja rendah di hadapan kami, mendengarkan tanpa sikap kritis, tidak menyela atau menyanggah, hanya duduk sembari membayangkan cara-cara Internasional yang akan dijalankan sekolah tersebut kelak. Negara maju mana yang akan dijadikan acuan oleh sekolah ini, Amerika kah? Cina kah? atau yang paling dekat saja, Malaysia? Amerika bagus dalam hal eksplorasi bakat dan minat siswa. Cina jempolan dalam character building. Sedang Malaysia, Negara yang tahun 60-an ini masih mengimpor guru dari Indonesia, kini membebaskan biaya pendidikan untuk anak usia sekolah dan kemudahan-kemudahan yang menyenangkan bagi warganya yang duduk di bangku kuliah. Kepala sekolah masih berbicara pada kami, kini tentang bab ‘ultimatum’, jika kelak anak-anak kami tertangkap basah melakukan pelanggaran berat, maka sekolah berhak mengeluarkan anak kami tanpa kompromi dan sikap hormat. Untuk itu kami harus sepakat untuk menandatangani surat pernyataan yang bermaterai.
Aku mencari puteraku yang duduk di pinggir halaman, bengong sendirian melihat teman-teman barunya berolah raga dengan seorang guru perempuan bertubuh gemuk dalam balutan busana olah raga berwarna putih dengan pelipit biru toska di sepanjang lengan. Aku mendatangi perempuan itu dan mulai menawar, tak bisakah puteraku ikut kelas olah raga dengan seragam pramuka?
“ Tidak boleh.” Perempuan itu bersikeras. “ Hanya anak berseragam olah raga yang boleh ikut kelas ini.”
“ Anak saya masih baru, Bu.” Aku tak menyerah seperti perempuan bermake up di hadapanku yang juga memilih tak menyerah dengan merubah keputusannya. “ Saya akan beli seragamnya, tapi guru yang bertanggung jawab sibuk ngurusi seragam kelas satu.”
“ Oo, kalau begitu ke Bu……silahkan.” Perempuan itu menyilahkanku ke kantor, dan merekomendasikan nama seseorang yang harus kutemui. Kini ia lebih ramah dari sebelumnya. Aku hendak kembali ke tempat puteraku saat melihat kelebatnya memasuki kantor, seorang guru memanggilnya, aku membuntuti, melewati ruangan guru, ruangan lain berkorden-sepertinya UKS, lalu ruangan penuh lemari yang ditata berderet menempel di dinding ruangan, dalam lemari tersebut disimpan banyak barang dari seragam yang beraneka jenis hingga piala-piala berwarna keemasan. Puteraku mengganti pakaian pramuka dengan baju olah raga di ruangan UKS, dan segera berlari ke halaman untuk mengikuti kelas olah raga. Aku mendahului wali murid baru di ruang seragam ke ruang guru, berniat menyelesaikan urusan keuangan. Seorang perempuan muda berjilbab menerimaku ramah tanpa menunjukkan keakraban, mulai menghitung ‘ segala hal ‘ yang diperlukan puteraku. Aku berdiri di samping meja - baris kedua - perempuan berjilbab itu tanpa dipersilahkan duduk. Wali murid baru-teman sekelas puteraku, tampak bimbang berdiri di bagian luar meja, di belakang punggungnya beberapa guru melaluinya untuk masuk ke ruangan lain atau saat keluar ke halaman sekolah. Saat perempuan berjilbab itu menghitung jumlah uang yang harus kubayar, wali murid baru-teman sekelas puteraku menyampaikan urusannya. “ Bu, saya bayar belakangan.” Wali murid baru itu mengembalikan seragam olah raga anaknya lalu pergi. Aku menyertai punggung perempuan itu saat menghilang di halaman, dan berkedip oleh debu-debu yang diterbangkan angin musim kemarau namun sebenarnya tak akan menjamah tempatku berdiri.
“ Duduk saja, Bu.” Seorang guru perempuan dengan rambut potongan pendek-tengah mengerjakan sesuatu di halaman buku bergaris, di sebuah kursi yang lain, menawarkan kebaikan. Aku menggeser tubuh menyadari sodokan halus di pinggang, saat menoleh kudapati guru perempuan lainnya menyerahkan kalkulator pada perempuan berjilbab yang mengurus keuangan. Ia tak menoleh atau mengatakan sesuatu, lalu kembali ke mejanya.
“ Sekolah di mana puteranya sebelum pindah ke sini, Bu?” Tanya perempuan berambut pendek. Aku menyebutkan sebuah sekolah dasar yang terletak di desa pinggiran. “ Sekolah itu terbelakang.” Katanya tanpa beralih dari pekerjaan mencatatnya di sebuah halaman bergaris. Aku menarik sudut bibirku, merasa tak senang dengan ucapan perempuan itu namun tak berusaha menyanggah.
“ Di sekolah terbelakang itu, kami di sana, seperti sebuah keluarga.” Kataku datar, ingat bahwa jika bukan jaraknya yang jauh, kami tak berniat memindahkan puteraku ke sekolah dengan program Internasional ini. Aku mengedari pandangan ke seluas kantor kuno itu dan teringat sebuah lembar pernyataan yang harus kuisi. Saat kutanyakan itu, seorang guru menyerahkan selembar halaman putih yang diketik computer. Aku membaca 6 poin kesepakatan - satu pihak - itu dan tak merasa terganggu kecuali pernyataan di poin 3, jika di kemudian hari ditemukan data yang tidak akurat tentang diri anak saya, maka saya bersedia anak saya dikeluarkan dari sekolah ini. Saat merenungkan kalimat ini, sekelebat bayangan murid kelas satu yang ditampar guru kelasnya-menyeruak ke layar memoriku, aku cemas. “ Apa maksud poin 3 ini? Mohon dijelaskan.”
Seorang guru perempuan menghampiriku, membaca poin yang kumaksud, dan tampak bingung ketika berusaha menerangkan. “ Ada kejadian si ibu yang menandatangani surat pernyataan, saat si anak mau dikeluarkan, si bapak tidak terima karena ia merasa tidak pernah menandatangani surat pernyataan apapun.”
“ Poin 3 itu tentang anak dengan data yang tidak akurat, seperti apa contoh dari data yang tidak akurat itu?” aku bingung, dan lebih bingung lagi mendapati mimic bingung di hadapanku yang masih berusaha menjelaskan data yang tidak akurat itu?
“ Tidak usah diisi!” usul guru perempuan berambut pendek. Aku semakin bingung, ia mengira surat pernyataan yang harus kami tandatangani itu serupa soal ujian dengan pilihan a-b-c-d. Tidak seperti itu, harusnya ia tahu itu.
“ Jadi kolom tanda tangan ini harus kami isi berdua ya.” Aku lelah dan mengalihkan pembicaraan tentang data yang tidak akurat itu. Melipat surat pernyataan itu dan menyimpannya di tas. Sementara itu datang perempuan berjilbab yang mengurus keuangan, menghampiriku seraya menjelaskan harga per barang, lalu menyerahkan barang-barang puteraku dalam satu wadah plastic ke tanganku.
“ Sekelompok orang senang bersembunyi di balik kata-kata ‘ mengambang ‘ untuk kemudian memanipulasi. Atau sekedar biar tampak keren karena bisa menciptakan kata-kata yang tidak umum supaya terkesan intelek.” Suamiku tertawa saat aku menyampaikan cerita pada bab data yang tidak akurat di sekolah putera kami. Tak bersimpati dengan keprihatinanku, malah mendorongku ke cerita bagian lain. Ayo kerja keras supaya sekolah alam kita segera terwujud, katanya ringan. Dari kamar kami, aku melihat kolam kecil melalui jendela nako yang lebar-lebar. Lalu mendongak ke langit biru yang memantul dalam kolam, berdoa dalam hati, semoga sebelum putera kami masuk SMP, sekolah alam kami yang cinta lingkungan dan cinta anak, sudah terwujud. Amien.

No comments: