expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Wednesday, August 17, 2016

Kado Untuk Indonesiaku : Kisah Tentang Bung Besar Dan Darah Pejuang Yang Menitis Di Nadinya.

Sukarno kecil ( sumber:google ).

Rumah bambu itu hanya selemparan batu dari kali Brantas yang di waktu musim hujan mengirimkan air kotornya menjadi genangan ke seluruh pekarangan hingga ke bagian dalam rumah. Lumpur dan sampah menggumpal di bawah kaki ketika para penghuni melangkah di atas lantai tanah yang berubah mengeras segera setelah banjir berlalu dan musim berganti. Tikus, lalat, dan nyamuk menggantikan genangan air sama menyusahkannya untuk dihadapi. Keduanya sama jahatnya dalam hal menggerogoti kesehatan tubuh manusia.

Idayu bekerja keras membersihkan rumah selepas mengantar suaminya sampai ambang pintu, - Raden Soekemi Sosrodihardjo menjadi guru sekolah rendah di kewedanan Ploso. Begitu suaminya pergi bekerja, perempuan itu disibukkan segala pekerjaan rumah tangga. Ketika dia mengorek-ngorek sisa-sisa sampah yang telah bercampur dengan onggokan lumpur, Soekarmini – puteri pertamanya – yang leyeh-leyeh di samping adik lelakinya yang masih bayi, mengeluhkan perutnya yang sakit.

Idayu berdiri dan pergi ke dapur, mengambil air hangat dan sepiring pisang rebus. Sarapan mereka pagi itu.
“Kau baru bangun dan belum makan,” Idayu menyentuh lembut bahu puteri mungilnya. “Perut kosong memang menyakitkan.”

Bocah perempuan itu baru sembuh dari sakit, gerakannya masih lemah dan bibirnya gemetar. Idayu menghela napas untuk meringankan sesak di dadanya. Ia mengalihkan pandangan dari Soekarmini yang tengah mengupas pisang rebus pada puteranya, Kusno. Bayinya hampir dua tahun. Tapi seperti kakak perempuannya, bayi Kusno tak lebih baik dalam hal kesehatan. Lengan dan kakinya sekurus lidi. Hanya matanya yang indah dan bercahaya itulah yang menjadi penanda bahwa puteranya masih hidup.

Dengan gaji mengajar f25 sebulan, setelah dipotong sewa rumah, sisanya f15 ( f3,60/dolar ). Setiap bulan Idayu memutar otak bagaimana empat mulut bisa bertahan dengan ongkos terendah. Masalahnya harta satu-satunya yang mereka miliki yang berjumlah sekitar 4 dolar menjadi tidak berarti apa-apa ketika kedua buah hati pasangan muda itu sakit keras. Lelah fisik mengurus rumah tangga, ditambah perasaan retak setiap saat mendapati dua permata hatinya menangis menahan kepayahan akibat sakit yang mendera...perlahan, setelah bulan-bulan merangkak lambat dalam duka derita yang semakin tak tertanggungkan. Idayu pun ambruk.

Raden Soekemi sebisanya bertahan, terbelah di antara pekerjaan di sekolah dan merawat isteri dan dua anak mereka. Hati lelaki yang seteguh karang pun adakalanya goyah pula, Idayu bukan tidak tahu apa yang menyebabkan mata suaminya memerah. Sambil menangis dan memeluk lengan lelaki itu Idayu meminta maaf dengan suaranya yang letih dan terbata-bata.

“Tidak apa-apa,” Raden Soekemi menenangkan, nyaris menyerupai bisikan. Hatinya telah pasrah pada Sang Maha Pemberi Hidup. Selain sebagai manusia dia telah mengusahakan segala yang mampu ia lakukan.

Dalam hening jiwa yang tertatih-tatih itu tidak hendak menyerah. Meski sakit kepala akibat malaria yang terus kambuh itu tak juga mereda, Idayu menyembunyikan nyeri melalui senyuman di wajahnya yang pucat. Bagaimanapun ia tak tega melihat suaminya terus menerus bekerja seorang diri, dunia patriarkhi yang tumbuh subur di sekitar dirinya tak mengizinkan hal itu. Idayu memaksakan diri bangun, meninggalkan ranjang kayunya yang reot supaya bisa memasakkan sesuatu ketika raden Soekemi berangkat mengajar.

Keringat dingin membasahi kening dan tengkuk perempuan itu, menembus kebaya dari kain cita murahan seharga enam sen per satu elo yang dia kenakan. Ia berdiri dengan goyah untuk mengambil sekeranjang kecil jagung yang masih melekat pada bonggolnya. Dimasukkannya makanan pokok rakyat jelata itu ke dalam lesung, untuk ditumbuk. Beberapa waktu ia menusuk-nusukkan alu ke dalam lesung sampai butiran jagung terlepas dari bonggolnya. Bertahun-tahun keluarga kecilnya bertahan hidup dengan sumber karbohidrat berwarna kuning terang tersebut, makanan yang paling murah jika dibandingkan dengan beras paling murah sekalipun yang biasanya dikonsumsi petani-petani paling miskin di lingkungan sekitar.

Ketika butiran jagung yang bersih telah ia dapatkan, saatnya menggiling jagung menjadi butiran yang lebih halus di penggilingan batu milik tetangga. Namun pekerjaan remeh itu tak dapat ia lanjutkan, Idayu merasa sekitarnya berputar. Ia tahu bisa saja jatuh pingsan jika tak segera merebahkan diri.

“Duhai, Sang Hyang Maha Tunggal...” dalam alam setengah sadarnya Idayu terus berdoa. “Karuniakan sedikit kekuatan pada hambamu ini...izinkanlah badan yang lemah ini menyelesaikan sedikit pekerjaan yang belum selesai.”

Ia memikirkan suaminya, yang setiap pagi hanya sarapan pisang atau ubi rebus. Sejak Idayu sakit keras hidup mereka semakin prihatin. Perempuan itu selalu menangis diam-diam, terkenang masa kecilnya di istana Singaraja – pusat pemerintahan kerajaan Buleleng, sebelum penjajah datang secara licik mengambil kejayaan dan harta benda keluarganya, serta membuang pamanda raja Gusti Ngurah Jelantik ke Padang Sumatera Barat pada tahun 1872. Dahulu keluarganya serba berkecukupan, memiliki makanan berlimpah dan bergelimang kesenangan. Ketika sakit Idayu mendapatkan lezat-lezatan yang mana saja dia inginkan. Ada tabib yang menyediakan obat dan keluarga besar yang menjaga. Dan sekarang....?

Sungguh, Idayu tidak menjadi cengeng bagi dirinya sendiri. Ia hanya ingin sehat dan memasakkan makanan untuk suaminya saat pulang nanti, atau membuatkan bubur ayam untuk kedua belahan jiwanya yang sedang terbaring tanpa daya. Namun yang dia punya hanyalah butiran jagung yang bahkan belum digiling.

Sekali lagi kebenciannya pada pemerintahan kolonial berkobar. Sekonyong-konyong ia teringat sumpahnya ketika melahirkan bayi Kusno tiga tahun lalu, bahwa kelak putera sang fajar akan memimpin Hindia mengusir para kulit putih biadab itu kembali ke negeri asal mereka yang dingin dan tak punya apa-apa di Netherland sana.

Kekuatan yang menyala itu menuntun Idayu kembali ke dapur. Ia menjunjung besek bambu di atas kepala, sambil berjalan ke rumah tetangga ia terus berkata pada dirinya sendiri, “Kau akan bertahan hidup, Nak. Kau pasti bertahan.”

Ia mengacuhkan sakit kepala dan volume panas tubuhnya yang terus meningkat. Semangat itu membakar Idayu sampai pada titik dimana ia mengabaikan dirinya sendiri. Di tempat penggilingan batu ia bertemu dengan perempuan lain yang sedang menampi jagung, memisahkan bubuk jagung dan butiran-butiran sebesar beras sehabis digiling.

Jenganten, kan masih sakit kenapa sudah keluar rumah?” tanya perempuan itu di sela-sela pekerjaannya.

Idayu hanya tersenyum, lalu fokus pada gilingan batu berbentuk bundar yang di tengah-tengahnya terdapat lubang tempat butiran jagung kasar dimasukkan dan mulailah mendorong batu tersebut dengan berpegangan pada kayu yang terpasang di bagian luar batu giling sisi atas.

Idayu terus bekerja, dan pikirannya juga. Bagaimana segala kemakmuran itu dirampas dari keluarga besarnya, oleh penjajah yang kini memperbudak pribumi dan menghisap kekayaan alamnya. Itulah kenapa dirinya, suaminya, kedua buah hatinya, dan para tetangganya kekurangan makanan. Ya, semua dihisap habis lalu dibawa ke negeri Belanda.

Idayu gemetar, oleh suhu tubuhnya, dan kemarahan yang membadai. Ia tak mungkin dapat memaafkan para penjajah biadab itu. Jangan sampai putera fajar-nya dikalahkan oleh penyakit dan kelaparan yang mewabah, karena ia sudah bersumpah, akan melanjutkan perang puputan sampai ajal merenggut, sampai negeri ini merdeka.

Idayu sudah melupakan dirinya, tapi tidak pandangan mata orang lain. Perempuan isteri petani yang tinggal di sebelah rumahnya merasa kasihan, dalam diam dia membantu Idayu hingga pekerjaannya selesai. Lalu datang tetangga perempuan yang lain, membantu membawakan barang Idayu hingga ke depan pintu dapurnya. Tapi melihat Idayu berjalan terhuyung, hatinya tak tega. Ia pun masuk ke dapur, membantu memasak jagung yang dicampur dengan singkong rebus, bersama sambal lalap yang dipetiknya dari pekarangan rumah.

Mata Idayu berlinangan, setelah sekian lama akhirnya ia dapat memasakkan makanan untuk suami dan anak-anaknya. Ucapan terima kasih serasa tak cukup untuk membalas kebaikan tetangga yang bukan hanya sekali membantu atau mengirimi makanan. Di kemudian hari Idayu kerap membicarakan kebiasaan baik ini dengan pangeran kecilnya, tradisi mulia yang kelak menginspirasi bocah lelaki itu sebagai saripatinya dasar negara, Pancasila.

Note : Draft awal dari bakal novel Dia Yang Telah Ditakdirkan, sebuah kisah tentang pergulatan Sukarno di masa kecilnya yang sulit yang kemudian membawanya pada kesadaran dan tekad yang bulat untuk memperjuangkan kemerdekaan bagi seluruh rakyatnya di bumi Nusantara.


No comments: