Sukarno kecil ( sumber:google ). |
Rumah bambu itu hanya selemparan batu dari kali Brantas yang di waktu musim hujan mengirimkan air kotornya menjadi genangan ke seluruh pekarangan hingga ke bagian dalam rumah. Lumpur dan sampah menggumpal di bawah kaki ketika para penghuni melangkah di atas lantai tanah yang berubah mengeras segera setelah banjir berlalu dan musim berganti. Tikus, lalat, dan nyamuk menggantikan genangan air sama menyusahkannya untuk dihadapi. Keduanya sama jahatnya dalam hal menggerogoti kesehatan tubuh manusia.
Idayu bekerja keras membersihkan
rumah selepas mengantar suaminya sampai ambang pintu, - Raden Soekemi
Sosrodihardjo menjadi guru sekolah rendah di kewedanan Ploso. Begitu suaminya
pergi bekerja, perempuan itu disibukkan segala pekerjaan rumah tangga. Ketika
dia mengorek-ngorek sisa-sisa sampah yang telah bercampur dengan onggokan
lumpur, Soekarmini – puteri pertamanya – yang leyeh-leyeh di samping adik
lelakinya yang masih bayi, mengeluhkan perutnya yang sakit.
Idayu berdiri dan pergi ke dapur,
mengambil air hangat dan sepiring pisang rebus. Sarapan mereka pagi itu.
“Kau baru bangun dan belum
makan,” Idayu menyentuh lembut bahu puteri mungilnya. “Perut kosong memang
menyakitkan.”
Bocah perempuan itu baru sembuh
dari sakit, gerakannya masih lemah dan bibirnya gemetar. Idayu menghela napas
untuk meringankan sesak di dadanya. Ia mengalihkan pandangan dari Soekarmini
yang tengah mengupas pisang rebus pada puteranya, Kusno. Bayinya hampir dua
tahun. Tapi seperti kakak perempuannya, bayi Kusno tak lebih baik dalam hal
kesehatan. Lengan dan kakinya sekurus lidi. Hanya matanya yang indah dan
bercahaya itulah yang menjadi penanda bahwa puteranya masih hidup.
Dengan gaji mengajar f25 sebulan,
setelah dipotong sewa rumah, sisanya f15 ( f3,60/dolar ). Setiap bulan Idayu
memutar otak bagaimana empat mulut bisa bertahan dengan ongkos terendah.
Masalahnya harta satu-satunya yang mereka miliki yang berjumlah sekitar 4 dolar
menjadi tidak berarti apa-apa ketika kedua buah hati pasangan muda itu sakit
keras. Lelah fisik mengurus rumah tangga, ditambah perasaan retak setiap saat
mendapati dua permata hatinya menangis menahan kepayahan akibat sakit yang
mendera...perlahan, setelah bulan-bulan merangkak lambat dalam duka derita yang
semakin tak tertanggungkan. Idayu pun ambruk.
Raden Soekemi sebisanya bertahan,
terbelah di antara pekerjaan di sekolah dan merawat isteri dan dua anak mereka.
Hati lelaki yang seteguh karang pun adakalanya goyah pula, Idayu bukan tidak
tahu apa yang menyebabkan mata suaminya memerah. Sambil menangis dan memeluk lengan
lelaki itu Idayu meminta maaf dengan suaranya yang letih dan terbata-bata.
“Tidak apa-apa,” Raden Soekemi
menenangkan, nyaris menyerupai bisikan. Hatinya telah pasrah pada Sang Maha
Pemberi Hidup. Selain sebagai manusia dia telah mengusahakan segala yang mampu
ia lakukan.
Dalam hening jiwa yang
tertatih-tatih itu tidak hendak menyerah. Meski sakit kepala akibat malaria
yang terus kambuh itu tak juga mereda, Idayu menyembunyikan nyeri melalui
senyuman di wajahnya yang pucat. Bagaimanapun ia tak tega melihat suaminya
terus menerus bekerja seorang diri, dunia patriarkhi yang tumbuh subur di
sekitar dirinya tak mengizinkan hal itu. Idayu memaksakan diri bangun,
meninggalkan ranjang kayunya yang reot supaya bisa memasakkan sesuatu ketika
raden Soekemi berangkat mengajar.
Keringat dingin membasahi kening
dan tengkuk perempuan itu, menembus kebaya dari kain cita murahan seharga enam
sen per satu elo yang dia kenakan. Ia berdiri dengan goyah untuk mengambil
sekeranjang kecil jagung yang masih melekat pada bonggolnya. Dimasukkannya
makanan pokok rakyat jelata itu ke dalam lesung, untuk ditumbuk. Beberapa waktu
ia menusuk-nusukkan alu ke dalam lesung sampai butiran jagung terlepas dari
bonggolnya. Bertahun-tahun keluarga kecilnya bertahan hidup dengan sumber karbohidrat
berwarna kuning terang tersebut, makanan yang paling murah jika dibandingkan
dengan beras paling murah sekalipun yang biasanya dikonsumsi petani-petani
paling miskin di lingkungan sekitar.
Ketika butiran jagung yang bersih
telah ia dapatkan, saatnya menggiling jagung menjadi butiran yang lebih halus
di penggilingan batu milik tetangga. Namun pekerjaan remeh itu tak dapat ia
lanjutkan, Idayu merasa sekitarnya berputar. Ia tahu bisa saja jatuh pingsan
jika tak segera merebahkan diri.
“Duhai, Sang Hyang Maha
Tunggal...” dalam alam setengah sadarnya Idayu terus berdoa. “Karuniakan
sedikit kekuatan pada hambamu ini...izinkanlah badan yang lemah ini
menyelesaikan sedikit pekerjaan yang belum selesai.”
Ia memikirkan suaminya, yang
setiap pagi hanya sarapan pisang atau ubi rebus. Sejak Idayu sakit keras hidup
mereka semakin prihatin. Perempuan itu selalu menangis diam-diam, terkenang
masa kecilnya di istana Singaraja – pusat pemerintahan kerajaan Buleleng,
sebelum penjajah datang secara licik mengambil kejayaan dan harta benda
keluarganya, serta membuang pamanda raja Gusti Ngurah Jelantik ke Padang
Sumatera Barat pada tahun 1872. Dahulu keluarganya serba berkecukupan, memiliki
makanan berlimpah dan bergelimang kesenangan. Ketika sakit Idayu mendapatkan
lezat-lezatan yang mana saja dia inginkan. Ada tabib yang menyediakan obat dan
keluarga besar yang menjaga. Dan sekarang....?
Sungguh, Idayu tidak menjadi
cengeng bagi dirinya sendiri. Ia hanya ingin sehat dan memasakkan makanan untuk
suaminya saat pulang nanti, atau membuatkan bubur ayam untuk kedua belahan
jiwanya yang sedang terbaring tanpa daya. Namun yang dia punya hanyalah butiran
jagung yang bahkan belum digiling.
Sekali lagi kebenciannya pada
pemerintahan kolonial berkobar. Sekonyong-konyong ia teringat sumpahnya ketika
melahirkan bayi Kusno tiga tahun lalu, bahwa kelak putera sang fajar akan
memimpin Hindia mengusir para kulit putih biadab itu kembali ke negeri asal
mereka yang dingin dan tak punya apa-apa di Netherland sana.
Kekuatan yang menyala itu
menuntun Idayu kembali ke dapur. Ia menjunjung besek bambu di atas kepala,
sambil berjalan ke rumah tetangga ia terus berkata pada dirinya sendiri, “Kau
akan bertahan hidup, Nak. Kau pasti bertahan.”
Ia mengacuhkan sakit kepala dan
volume panas tubuhnya yang terus meningkat. Semangat itu membakar Idayu sampai
pada titik dimana ia mengabaikan dirinya sendiri. Di tempat penggilingan batu
ia bertemu dengan perempuan lain yang sedang menampi jagung, memisahkan bubuk
jagung dan butiran-butiran sebesar beras sehabis digiling.
“Jenganten, kan masih sakit kenapa sudah keluar rumah?” tanya
perempuan itu di sela-sela pekerjaannya.
Idayu hanya tersenyum, lalu fokus
pada gilingan batu berbentuk bundar yang di tengah-tengahnya terdapat lubang
tempat butiran jagung kasar dimasukkan dan mulailah mendorong batu tersebut
dengan berpegangan pada kayu yang terpasang di bagian luar batu giling sisi
atas.
Idayu terus bekerja, dan
pikirannya juga. Bagaimana segala kemakmuran itu dirampas dari keluarga
besarnya, oleh penjajah yang kini memperbudak pribumi dan menghisap kekayaan
alamnya. Itulah kenapa dirinya, suaminya, kedua buah hatinya, dan para
tetangganya kekurangan makanan. Ya, semua dihisap habis lalu dibawa ke negeri
Belanda.
Idayu gemetar, oleh suhu
tubuhnya, dan kemarahan yang membadai. Ia tak mungkin dapat memaafkan para
penjajah biadab itu. Jangan sampai putera fajar-nya dikalahkan oleh penyakit
dan kelaparan yang mewabah, karena ia sudah bersumpah, akan melanjutkan perang
puputan sampai ajal merenggut, sampai negeri ini merdeka.
Idayu sudah melupakan dirinya,
tapi tidak pandangan mata orang lain. Perempuan isteri petani yang tinggal di
sebelah rumahnya merasa kasihan, dalam diam dia membantu Idayu hingga
pekerjaannya selesai. Lalu datang tetangga perempuan yang lain, membantu
membawakan barang Idayu hingga ke depan pintu dapurnya. Tapi melihat Idayu
berjalan terhuyung, hatinya tak tega. Ia pun masuk ke dapur, membantu memasak
jagung yang dicampur dengan singkong rebus, bersama sambal lalap yang
dipetiknya dari pekarangan rumah.
Mata Idayu berlinangan, setelah
sekian lama akhirnya ia dapat memasakkan makanan untuk suami dan anak-anaknya.
Ucapan terima kasih serasa tak cukup untuk membalas kebaikan tetangga yang
bukan hanya sekali membantu atau mengirimi makanan. Di kemudian hari Idayu
kerap membicarakan kebiasaan baik ini dengan pangeran kecilnya, tradisi mulia
yang kelak menginspirasi bocah lelaki itu sebagai saripatinya dasar negara,
Pancasila.
Note : Draft awal dari bakal novel Dia Yang Telah Ditakdirkan, sebuah kisah tentang pergulatan Sukarno di masa kecilnya yang sulit yang kemudian membawanya pada kesadaran dan tekad yang bulat untuk memperjuangkan kemerdekaan bagi seluruh rakyatnya di bumi Nusantara.
No comments:
Post a Comment