expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Thursday, May 19, 2016

Fiksi Itu Kreatifitas, Bukan Hayalan

Beberapa orang yang saya temui mengira jika fiksi itu - novel, cerpen, dan teman-temannya - hanyalah buah dari hayalan seseorang. Ketika saya menulis novel sejarah, ada yang bicara begini : "Oh berupa novel toh, bukan kumpulan artikel?"
Kala itu saya dikunjungi para tamu yang sedang aktif menyuarakan dan menggalang aksi penyelamatan sebuah situs. Maunya mereka buku saya, yang diharapkan berupa tulisan non fiksi, segera diterbitkan saja untuk 'meramaikan' aksi perlawanan tersebut. Namun kebiasaan saya untuk 'mengendapkan' tulisan, karena berbagai pertimbangan, tidak mungkin saya langgar.

Sebagai penulis, terutama ketika menulis sebuah novel, yang berjumlah ratusan halaman itu, waktu dan tenaga yang dikorbankan tidaklah main-main. Apapun tema yang sedang digarap, setumpuk referensi yang bisa berjumlah belasan hingga puluhan, harus benar-benar dibaca dan dipahami untuk memperkaya ide dan mendukung 'kemunculan' hal-hal baru entah itu fakta-fakta yang baru diketahui ataupun sudut pandang yang bisa jadi akan sangat berbeda dari karya-karya sebelumnya.  Satu contoh, misalnya ketika saya menulis novel sejarah berjudul Tumapel. Dengan sumber Pararaton dan Nagarakertagama yang umum menjadi acuan baik sejarawan dan penulis fiksi sejarah, dalam perjalanannya kemudian saya menemukan, bahwa keduanya bisa sangat berlawanan dengan sumber resmi yang dikeluarkan oleh pemerintahan Wisnuwardhana dalam sebuah prasasti yang terbit tahun 1255 masehi.

Karena pengalaman semacam inilah, didukung sebuah instuisi tajam ( sombong amat..wkwkwk ) saya merasa harus mengendapkan tulisan-tulisan saya sebelum kemudian dipublish ke publik. Masa 'pengendapan' ini menurut saya penting dilakukan sebagai bagian dari proses trial-error sehingga sebuah karya tulis layak terbit dan bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya.

Begitu kira-kira.

No comments: